Site icon SIN Aceh

PB PII Nyatakan Mosi Tidak Percaya Kemendikbud

Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) menyatakan Mosi Tidak Percaya terhadap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Kajian PB PII menyimpulkan sejumlah kebijakan Kemendikbud selama pandemi Covid-19 tidak konkrit serta tidak tepat sasaran.

“PB PII menyatakan mosi tidak percaya kepada Kemendikbud apabila kebijakan yang diambil tidak konkrit dan tidak tepat sasaran,” kata Ketua Umum PB PII, Rafani Tuahuns dalam rilisnya.

Mosi tidak percaya PB PII tersebut diungkapkan dalam forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) PB PII yang berlangsung pada 10 sampai 13 September 2021. Sikap tegas PII itu sebagai respon terhadap potensi terjadinya lost generation di Indonesia.

Rafa mengungkapkan bencana lost generation di Indonesia itu disebabkan oleh berbagai kebijakan Kemendikbud yang mengabaikan aspek keadilan. Berbagai kebijakan Kemendikbud selama pandemi Covid-19 dinilai tidak merata dan berkeadilan.

“Kemendikbud Ristek RI yang dipimpin oleh Mas Menteri Nadiem Makarim kebijakannya tidak merata dan berkeadilan,” tutur Rafa.

“Bertentangan dengan sila ke 5, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan pendidikan harus merata dan berkeadilan” jelasnya.

Catatan Merah Kemendikbud

PB PII memberikan catatan merahnya untuk kinerja Kemendikbud sejak Maret 2020. Sesuai hasil kajian PB PII, sikap Mosi Tidak Percaya pada Kemendikbud menjadi sesuatu yang cukup beralasan.

Pertama, sistem Pembelajararan Jarak Jauh (PJJ). Kebijakan ini dinilai tidak solutif dengan mengabaikan problem mendasar dalam aspek ketersediaan sarana dan prasarana pendukung PJJ.

Pelaksanaan PJJ secara menyeluruh di Indonesia seolah menutup mata dengan fakta bahwa masih ada 11% (12.548 desa) di Indonesia yang tidak memiliki akses internet. Selain kemudahan akses internet, akses listrik juga hingga kini masih menjadi PR bagi pemerintah pusat.

“Pada akhirnya kebijakan yang muncul (PJJ) justru membuat pendidikan kita semakin timpang,” ujar Rafa.

Kedua, pengadaan bagi-bagi laptop. Kebijakan berbiaya Rp 17 triliun itu dinilai sebagai kebijakan yang diskriminatif, sebab lebih memanjakan kalangan ekonomi menengah ke atas dan di perkotaan.

“Jangan sampai kebijakan ini terkesan memanjakan kelompok masyarakat menengah atas yang ada di perkotaan dan menindas masyarakat kebawah di pedesaan,” ucapnya.

Ketiga, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No.6/2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah Reguler. Muatan pasal 3 ayat 2 (d) yang berbunyi “memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 (enam puluh) Peserta Didik selama 3 (tiga) tahun terakhir” dinilai diskriminatif.

“Padahal harusnya ini menjadi perhatian oleh pemerintah untuk mendukung pendidikan harus dilaksanakan seluruh warga negara dengan merata. Sehingga pembatasan 60 siswa ini harusnya di tolak,” pungkasnya.(**)

Exit mobile version