Banyak PR yang harus diselesaikan Kapolri baru tersebut telah memunculkan strategi bagi calon pejabat terkait untuk menyikapinya. Dalam hal ini Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo sebagai pejabat calon Kapolri baru telah berkomitmen melalui visi dan misinya untuk membangun kepemimpinan Polri periode 2021-2024 dengan taglinje transformasi POLRI PRESISI yang merupakan abreviasi dari Prediktif, Responsibiltas, dan Transparansi berkeadilan (Presisi).
Konsep Presisi merupakan fase lebih lanjut dari POLRI PROMOTER (PROfesional, MOdern, dan TERpercaya) yang telah digunakan pada periode sebelumnya, dengan pendekatan pemolisian berorientasi masalah (problem oriented policing).
Dalam kepemimpinan POLRI PRESISI, ditekankan pentingnya kemampuan pendekatan pemolisian prediktif (predictive policing) agar Polri mampu menakar tingkat gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) melalui analisa berdasarkan pengetahuan, data, dan metode yang tepat sehingga dapat dicegah sejak awal mula. Kata responsibilitas dan transparansi berkeadilan menyertai pendekatan pemolisian prediktif yang ditekankan agar setiap insan Bhayangkara mampu melaksanakan tugas Polri secara cepat dan tepat, responsif, humanis, transparan, bertanggung jawab, dan berkeadilan.
Kiranya konsep kepemimpinan POLRI PRESISI ini sangat relevan saat ini ditengah situasi pandangan masyarakat terhadap Polri yang terkesan sarat dengan tindakan kekerasan dan penyalahgunaan kewenangan dalam pelaksanaan tugasnya. Hal ini dikuatkan dengan adanya berbagai pengaduan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait adanya praktik pemolisian dalam penanganan harkamtibmas yang masih menampilkan kekerasan dan kurangnya pengawasan dalam pelaksanaan tugas mereka.
Permasalahan praktik pemolisian sebenarnya memang tidak hanya menggejala di Indonesia saja. Badan-badan kepolisiandi berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara maju seperti AS, Inggris, Australia, dan lain-lain, telah sejak lama menghadapi permasalahan akut berkaitan dengan tindak kekerasan, penyalahgunaan wewenang, penerimaan uang suap, dan lain-lain perilaku negatif yang dilakukan petugas kepolisian, baik mereka yang bertugas di lapangan (street cop) maupun jajaran pimpinan (management cop)-nya.
Berbagai permasalahan ini menyebabkan lembaga kepolisian menghadapi krisis legitimasi, yakni tentang peran dan fungsi yang seharusnya ia lakukan dalam menjalankan tugasnya.
Kepemimpinan “POLRI PRESISI” diharapkan dapat mewujudkan Polri sebagai institusi unggul sebagaimana dimandatkan dalam peta jalan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025. Pembabakan tahapan Grand Strategy Polri merupakan penjabaran dari RPJPNasional yang berpedoman pada pencapaian cita-cita nasional sesuai dengan tujuan kita berbangsa dan bernegara.
Kepemimpinan POLRI PRESISI ini telah menjadi komitmen calon Kapolri tunggal yaitu Komjen Listyo Sigit Prabowo yang bertekad untuk Menjadikan Polri sebagai institusi yang Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan (PRESISI) dalam menjalankan tugasnya.
Jika dikaitkan dengan setumpuk PR yang harus dikerjakan oleh Kapolri baru yang terpilih nanti maka konsep kepemimpinan POLRI PRESISI ini sesungguhnya bisa di uji melalui kebijakan Kapolri baru dalam menyikapi pelaksanaan penyelesaian PR yang direkomendasikan oleh beberapa lembaga dan Ormas seperti LPSK, Kontras, Muhammadiyah dan yang lain lainya.
Salah satu isu menonjol yang mendapatkan perhatian luas masyarakat adalah masalah tindak kekerasan yang dilakukan polisi dimana isu ini mendapatkan prioritas utama oleh beberapa lembaga agar segera dicarikan solusinya. Baik Kontras, Muhammadiyah, maupun LPSK menempatkan masalah ini sebagai PR prioritas yang mesti diselesaikan oleh Kapolri baru terplih nantinya.
Karena tindak kekerasan apalagi menyebabkan kematian warga negara berkaitan dengan tujuan didirikannya negara ini yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh warga negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Salah satu isu menonjol adalah terkait dengan kematian 6 laskar FPI yang dilakukan oleh aparat negara. Kematian 6 laskar FPI ini oleh Komnas HAM telah dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap hak azasi manusia.
Dalam hal ini beberapa elemen masyarakat seperti Muhammadiyah telah mendukung agar kasus ini dilanjutkan ke ranah penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan Pidana guna mendapatkan kebenaran materiil lebih lengkap dan menegakkan keadilan. Bahkan menurut Muhammadiyah pembunuhan terhadap empat anggota laskar FPI seharusnya tidak sekadar pelanggaran HAM biasa melainkan termasuk kategori pelanggaran HAM berat sehingga seyogyanya pelakunya diadili di Pengadilan Hak Azasi Manusia.
Sejalan dengan komitmen calon Kapolri baru yang akan menerapkan Kepemimpinan POLRI PRESISI maka penyelesaian tindak kekerasan yang dilakukan aparat khususnya menyangkut kematian 6 laskar FPI menjadi batu ujian sekaligus tolok ukurnya.
Kapolri yang baru, sebagai bentuk keseriusan untuk mewujudkan Institusi Polri yang Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan (PRESISI) perlu ikut mendorong penyelesaian tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggotanya dalam kasus pembunuhan 6 laskar FPI ke Pengadilan dan tidak diselesaikan secara internal saja.
Kapolri yang baru seyogyanya “merelakan” anggotanya yang terlibat untuk diadili dalam suatu peradilan yang transparan dan berkeadilan agar mampu menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat kepada Kapolri yang akhir akhir ini terpuruk karena berbagai kasus yang membelitnya. Kapolri yang baru tidak boleh melindungi anggotanya yang diduga telah melakukan pembunuhan terhadap warga negara Indonesia yang semestinya dilindunginya.
Bahkan kalau perlu pengusutan tidak sebatas pada pelaku lapangan saja tetapi juga kepada jajaran atas (aktor intelektual dibalik penembakan itu) yaitu yang memberikan perintah sampai kemudian menyebabkan hilangnya 6 nyawa anak bangsa.
Masyarakat tentu akan menunggu kiprah Kapolri baru yaitu Komjen Listyo Sigit Prabowo dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Semoga saja ia menjadi Kapolri yang profesional dalam menjalankan tugasnya sesuai konsep kepemimpinan POLRI PRESISI yang menjadi komitmennya. Upaya untuk mewujudkan komitmen ini tentunya merupakan tantangan tersendiri karena yang bersangkutan berlatar belakang agama yang bukan dianut oleh masyarakat Indonesia.
Tetapi kalau yang bersangkutan nantinya mampu menjalankan Polri yang Prediktif, Responsibiltas, dan Transparansi berkeadilan (Presisi) paling tidak melalui uji petik penyelesaian kasus penembakan 6 laskar FPI maka dukungan pasti akan mengalir deras kepadanya. Tetapi kalau kemudian tindak tanduknya tidak berubah dari kebijakan kepemimpinan Polri sebelumnya yang sarat dengan aroma kekerasan dan penghilangan nyawa maka tinggal tunggu waktu saja saat kejatuhannya. Kita berharap polisi kita akan baik baik saja demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber: law-justice.co